Minggu, 16 Desember 2012

My Own MileStone3

        Okey, balik lagi, hari demi hari gue lewatin tanpa mama, dan tentunya gue ga mau jadi cewe yang cengeng, gue selalu berusaha mengendalikan hati dan perasaan gue, dan tentang bokap gue yang hebat itu, ya, dia memang seorang ayah yang hebat.
        Langsung aja ke 2 tahun kemudian, setelah gue lulus SMA, bokap gue mau kalo bisa gue kuliah di salah satu universitas unggulan di daerah Semarang tempat lahir bokap gue, dan Alhamdulillah gue diterima kuliah di universitas itu, kebetulan disitu ada juga saudara dari bokap gue.
        Pas gue mau kuliah di luar kota, awalnya dia ragu, tapi gue bilang gue yakin sama keputusan gue, dan akhirnya bokap gue lah yang nganterin gue Jakarta -Semarang - Jakarta - Semarang, begitu seterusnya karna waktu itu gue belum berani sendirian. Pas gue semester 2, baru deh gue berani sendirian pergi pulang Jakarta - Semarang atau kadang bareng temen.
        Tepat liburan semester 2 ke semester 3, waktu itu lagi bulan puasa, liburan itu gue balik ke Jakarta karna bokap nyuruh cepet-cepet balik. Saat itu keadaan bokap emang lagi sakit, tapi sakit biasa.
        Dua hari setelah itu, tanpa disangka kondisi bokap gue drop banget, langsung dibawa ke rumah sakit, dan.. itu terjadi lagi sama gue. Untuk kedua kalinya gue harus kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup gue. Bokap gue pergi ninggalin gue.
        Sakit, itu rasanya sakit banget, tapi lebih sakit lagi saat gue harus pura-pura kuat saat hati gue lg bener-bener terluka, lebih sakit lagi saat gue harus berpura-pura memperlihatkan pada dunia bahwa semua masih tetap sama, gue akan masih tetap sama, semua masih tetap seperti dulu, padahal udah banyak yang berubah, udah banyak yang berbeda.
        Gue liat penampang rumah gue dari depan, berkali-kali. Gue coba buat bayangin dan menganggap semuanya akan tetap seperti kemarin. Tapi yang terbayang cuma kesendirian bokap gue selama ini dan penyesalan kenapa selama ini gue engga nemenin dia didalam kesepiannya.
         Setelah itu, kalo gue pulang ke Jakarta, semua kaya ga ada rasanya. Kakak-kakak gue yang lain kan udah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Jadi kayanya gue udah harus bisa hidup diatas kaki gue sendiri. Jujur gue ga siap kalo harus kaya gini, tapi gue harus bisa bertahan dengan kondisi yang seperti ini, gimanapun juga gue ngga boleh berubah, ga boleh ngecewain orang-orang yang masih berharap sama gue.

Sabtu, 15 Desember 2012

My Own MileStone2

         Kesakitan ini saya rasakan hanya didalam hati, saya merasa sendiri, hanya selalu merasa sendiri, hingga terkadang saya hilang akal, menuntut orang2 mencintai saya, memaksa mereka mengerti saya. Itu terlalu kekanakan.
         Saya merasakan kualitas diri saya semakin menurun, tapi mengapakah semua orang menuntut profesionalitas yang saya miliki tanpa berpikir ada apa dengan saya pada saat itu. Mengapakah mudah bagi oranglain menuntut orang yang lainnya untuk melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkannya, Ketika saya tidak sanggup melakukannya, maka merela mencela dan memberikan kesimpulan bahwa saya tidak bisa melakukannya. Tidakkah kalian memberi saya kesempatan untuk menangis? Air mata yang selama ini saya simpan itu tidak tau kapan jatuhnya.
           Ayah saya, dia lah yang paling berjasa setelah kepergian mama, hebatnya lagi, ia berusaha menjadi keduanya, menjadi Ayah sekaligus ibu. Ayah saya, diumurnya yang kian menua, iya senantiasa melayani saya layaknya seorang anak kecil. Membuatkan saya roti dan susu di pagi hari sebelum saya berangkat ke sekolah, mengusir nyamuk2 yang menggigiti ketika saya tidur, mamakaikan saya selimut ketika saya kedinginan, dan mencium kening saya ketika saya terlelap. Namun saja saya tidak menyadari bahwa seharusnya saya yang melayaninya, saya terlalu terbuai dengan kesedihan saya tanpa memikirkan orang-orang disamping saya yang sebenarnya membutuhkan saya, namun tidak tega.

My Own MileStone1

bukan suatu keputusan ataupun pilihan ketika gue mencari setetes keikhlasan yang berlari tanpa harapan atau diam tanpa makna...
yap itulah yang terjadi ketika gue kehilangan seseorang yg gue sayang
diam berdegup dan berharap tanpa tau apa yang gue harapkan atau gue berharap dia hidup kembali
setiap rasa ini menunggu tanpa tau apa yg gue tunggu atau gue menunggu dia hadir lagi mengisi setiap celah kehidupan gue
dan sekali lagi itu nggak mungkin

dan memang seperti itulah kosongnya jiwa gue ketika gue berjalan tanpa arah dan nggak menemukan satu pun persinggahan karna memang itulah harga yg harus gue terima yg sudah menjadi garisNya...

dan berkali - kali gue katakan pada hati bahwa setiap yang hidup pasti mati dan sekali lagi kata2 itu masih menggoreskan pedih

gue mencoba menggapai satu langkah dan itu berat, nggak mengerti langkah mana yg harus gue pilih...

dan memang nggak ada satupun jiwa yg mengeti kecuali jiwa gue sendiri... yang harus mengartikan, mencari dan mengambil satu langkah itu... langkah yg benr2 sulit dipahami

berharap di persimpangan bertemu dengan jiwa bagai malaikat dan ternyata memang tidak sampe gue menemukannya sendiri...
ternyata memang seperti itulah jiwa - jiwa yg menganggap dirinya berarti
ketidakpedulian rasa hingga meraka menyadari bahwa tawa nggak selamanya ada dan sampe gue mengerti bahwa air mata nggak abadi... dan langkahkaki yg gue cari hanya ada dalam rencanaNya


"ku persembahkan kepadamu yang terindah dalam hidupku... maafkanlah bila hati tak sempurna mencintaimu, dalam dada ku harap hanya dirimu yang bertahta" (for my beloved mom)



 

My Own MileStone

       Saya dilahirkan ditengah2 keluarga yang sederhana, namun orangtua saya selalu memberikan apa yang saya inginkan, ya, mereka selalu menuruti keinginan saya :) . Saya anak terakhir dari 9 bersaudara, 7 diantaranya laki-laki dan 1 nya kakak wanita. Begitupun dengan 8 kakak saya yang lain, mereka begitu demokratis dan tidak memaksakan akan jadi seperti apakah saya.
       Mereka semua begitu percaya kepada pilihan-pilihan yang saya ambil, sejak kecil mereka membiasakan saya seperti itu, mengajarkan saya bahwa setiap pilihan memiliki risiko dan konsekuensi, meskipun terkadang saya menganggap mereka tidak peduli kepada saya.
       Tepat 6 bulan setelah saya masuk salah satu SMA favorit di Jakarta sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua saya meskipun tanpa paksaan, saya harus kehilangan sosok seorang ibu, ya, beliau harus pergi meninggalkan saya, tanpa feeling apapun saya merasakan kaget yang luar biasa. Saya benar-benar tidak menyangka. Saya berusaha kuat didepan semua orang disaat semua orang, kakak2 saya, saudara2 saya, tetangga2 saya mengkhawatirkan keadaan saya, saya tidak menangis sedikitpun. Entah, mungkin karena saya masih tidak bisa percaya dengan semua ini.
       Saya hanya percaya dengan semua yang terjadi kepada saya, Tuhan hanya ingin saya menjadi seseorang yang lebih dewasa, yang lebih kuat. tapi ditengah usaha saya untuk berdiri lagi, hanya segelintir orang yang benar2 mengerti, sedang saya hanya mencoba menjadi diri saya yang seperti biasanya. Tapi tidakkah mereka mengerti, dibalik semuanya, saya begitu rapuh.

Selasa, 05 Januari 2010

PUISI KONTEMPORER

PERGI



Rintihan hati mengundang luka
Di bawah rintik hujan dalam derap langkah
dan melody tak bernyawa

Saat ini bintang tak bersinar
Hanya sepercik saja ia bercahaya
Hanya berbentang tanya berbalut mimpi
Kemudian aku tak berarti lagi

Dirimu adalah jiwa tanpa raga
cinta tanpa kebersamaan
Hiasan indah yang tak lagi kumiliki
Masuk semua tinggal kenangan
Namun dirimu masih terasa hidup seperti mimpi yang tak berujung
Dalam tidur panjang dunia nyata

Bila aku mati
kuburkan aku di hatimu
Agar kau slalu bisa mengingatku
Dan jangan pernah mengenangku
Karena kenangan adalah daun musim gugur yang bergumam diantara angin
Dan kemudian tak terdengar lagi

Resah di kaki malam
mengjakku melupakan namamu
Yang pernah tertata manis dalam ruang biru hatiku
Aku selalu mengingatmu


Karya : Devi Puspitasari
SMAN 39